Sorong, 8 November 2024 — Sejumlah pemuda adat suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi perwakilan masyarakat adat suku Awyu, Hendrikus Woro, saat berupaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat. Apalagi saat ini suku Moi juga sedang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.
“Kami masyarakat adat suku Moi sangat kecewa terhadap Majelis Hakim MA karena tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang saat ini terancam dirampas oleh perusahaan sawit. Seharusnya hakim perlu jeli melihat persoalan ini dengan baik. Keberadaan masyarakat adat telah diakui sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18B UUD 1945 yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,” kata Koordinator Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan, dan Manusia Papua (KSTHMP), Fiktor Klafiyu. Menurut Fiktor, putusan MA tidak mempertimbangkan fakta tentang relasi masyarakat adat dengan hutan adatnya yang kuat. Selama ini, secara turun temurun, hutan telah menjadi sumber penghidupan masyarakat adat dalam mengelola pangan lokal dan obat-obatan. Hutan adalah tempat berburu dan meramu bagi masyarakat adat.
“Bagi kami masyarakat adat Papua, hutan adalah mama dan tanah Papua itu bukan tanah kosong. Kami masyarakat adat Papua telah lama hidup berdampingan dengan alam, bahkan sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara merdeka. Putusan ini terkesan tak ada keadilan bagi masyarakat adat di Indonesia. Keadilan lebih cenderung pro terhadap investasi. Kami sebagai masyarakat adat diabaikan dan hukum tidak memihak terhadap masyarakat adat suku Awyu yang diwakili oleh Hendrikus Woro,” tambah Fiktor.
Putusan dengan Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim pada 18 September lalu, namun dokumen putusan lengkapnya baru bisa diakses kemarin, 1 November. Dalam putusan tersebut, satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion). Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari, yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal. Hakim Yodi juga berpendapat bahwa objek gugatan—surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL—bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.
Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.
Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim Mahkamah Agung RI. Selain masyarakat adat suku Awyu, masyarakat adat suku Moi juga sedang menuntut keadilan dalam upaya mempertahankan wilayah adat suku Moi Sigin di MA. Berlokasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, wilayah adat tersebut terancam oleh izin usaha perusahaan sawit PT Sorong Agro Sawitindo dengan konsesi seluas 18.160 hektare.
“Izin tersebut diterbitkan tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Saat ini sedang dalam proses kasasi juga di MA. Kami berharap MA agar memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi kami masyarakat adat di meja hijau. Hakim harus memihak kepada kami masyarakat adat dan melihat fakta-fakta di lapangan karena kami masyarakat adat mempunyai sepenuhnya hidup berdampingan dan memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan abadi,” lanjut Fiktor.
Soraya Do, Koordinator Volunteer Greenpeace Indonesia yang berbasis di Sorong, mengatakan dua dekade terakhir hutan hujan di Tanah Papua semakin terancam akibat konversi lahan untuk kebun sawit, tambang, penebangan liar, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN). Kata Soraya, semua nyaris dilakukan dengan praktik perampasan wilayah adat milik masyarakat adat Papua.
“Dalam kasus masyarakat adat suku Moi MA harus jeli melihat dalam konteks Papua, di mana masyarakat adat sebagai subjek hukum atau lex specialis di era otonomi khusus dengan semangat melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Hal ini tertulis jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, bertujuan untuk melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP),” kata Soraya.
“Pengadilan seharusnya mempunyai sikap menegakkan hukum yang ketat dan berkeadilan untuk menyelamatkan hutan Papua, yang saat ini sedang tergerus oleh lajunya ekspansi industri ekstraktif di sektor bisnis sumber daya alam yang tak mengenal hak asasi manusia. Kita bisa hidup tanpa uang atau investasi, namun kita tidak bisa hidup tanpa hutan dan tanah adat,” tutupnya.[]