Sorong Malamoi, Pejuang Lingkungan Hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura merasa kecewa dan sedih atas putusan majelis hakim yang tidak adil. Namun begitu Hendrikus dan masyarakat adat Papua yang mendukung perjuangan Hendrikus Woro bertekad tidak akan mundur memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup. ” Saya secara pribadi merasa majelis hakim salah mengambil putusan, Salinan_putusan_6_G_LH_2023_PTUN_JPR.” Gugatan Lingkungan Suku Awyu, 021123.“, kata Robert Meanggi, pemuda adat Awyu.
Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL. Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.
Namun dalam putusannya, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari objek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.
Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. “ Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.
Karena masyarakat sudah mengajukan semua bukti dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat.
Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antargenerasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang. Kuasa Hukum Penggugat, Tigor G. Hutapea, menyampaikan seluruh para pihak penggugat dan tergugat telah mengajukan kesimpulan pada tanggal 20 Oktober 2023 lalu.
“ Kuasa Hukum Penggugat telah mengajukan kesimpulan kepada majelis hakim, kesimpulan ini berisi seluruh berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan. Fakta-fakta didukung dengan banyak alat bukti surat, keterangan para saksi dan para ahli. Ada 102 bukti surat yang kami ajukan, enam (6) orang saksi fakta, tiga (3) ahli yang memiliki latar belakang penyusun Amdal, ahli pertanian masyarakat dan hukum lingkungan, semua bukti ini mendukung argumentasi kami” Ujar Tigor Hutapea, salah satu kuasa hukum, tindakan sewenang pemerintah yang tetap memaksa penerbitan izin dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.”
Kami menyimpulkan bahwa proses penerbitan keputusan pemerintah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyusunan dokumen analisa dampak lingkungan (Amdal) melanggar prinsip validitas data. Terungkap di persidangan banyak data amdal yang tidak valid, penyusun Amdal juga tidak menganalisa nilai keanekaragaman hayati yang tinggi di lokasi, tidak melakukan analisa dampak deforestasi terhadap perubahan iklim, penyusun Amdal juga dengan sengaja tidak memasukan pendapat masyarakat yang melakukan penolakan. Seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan keputusan tersebut. Ungkap Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua.
Kamis (02/10/2023), sidang Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, yang dipimpin Merna Cinthia, S.H., M.H., telah membuat putusan yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Putusan hakim tersebut menjadi kabar buruk dan kemunduran bagi perlindungan lingkungan hidup dan masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman penggundulan hutan oleh perusahaan kelapa sawit.
Hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari objek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dalam siaran pers.
“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.