Tolak Perusahaan Perdagangan Karbon di Papua Barat Daya

150 Views

Masyarakat Adat Moi di Kepulauan Salawati yang terletak di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya menolak kehadiran perusahaan perdagangan karbon PT Perkasa Bumi Hijau Unit I

Penolakan ini disampaikan sejumlah tokoh Masyarakat Adat Moi usai kegiatan sosialisasi pembahasan permohonan rekomendasi teknis PT Perkasa Bumi Hijau Unit I atas areal seluas ± 69.768 hektare yang berlokasi di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, pada Kamis, 9 November 2023.

Peta Hasil Telaahan Teknis PBKH-TL Wil.XVII PT Perkasa Bumi Hijau Unit I, di Pulau Salawati

Kegiatan sosialisasi ini dihadiri unsur pemerintah dari Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya serta Dewan Adat Suku Moi Maya dan Kepala Adat Suku Besar Moi bersama anggotanya.

Mereka bersepakat untuk menandatangani berita acara dukungan dan persetujuan atas permohonan rekomendasi teknis Gubernur tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan ( PBPH) multi usaha kehutanan perdagangan karbon di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Ketua Adat  Tuju marga,Suku Moi Fiawat  di Pulau Salawati, Frans Klasin Parajal menyatakan penandatanganan berita acara dukungan tersebut dilakukan secara sepihak sehingga tidak sah karena pihak yang mewakili Suku Besar Moi sama sekali tidak punya relasi sejarah dengan Wilayah Adat yang menjadi target permohonan persetujuan usaha peradangan karbon oleh PT Perkasa Bumi Hijau Unit I. Frans Klasin menegaska penandatanganan tersebut tanpa melibatkan seluruh Masyarakat Adat pemilik hak ulayat di pulau Salawati.

“Berita Acara yang mereka tandatangani tidak sah karena tidak melibatkan seluruh Masyarakat Adat pemilik hak ulayat di pulau Salawati,” kata Frans Klasin di Kota Sorong, Jum’at (10/11/2023).

Frans menerangkan saat kegiatan sosialisasi berlangsung dirinya mengikuti persentase yang disampaikan perusahaan. Namun yang disampaikan saat itu hanya soal jenis usahanya saja, sementara  pembagian hasil perusahaan tidak diberitahukan kepada peserta. Alasannya belum mengetahui hasil dari perdagangan karbon, jadi belum bisa memastikan pembagian hasilnya antara perusahaan dan pemilik hak ulayat.

Yosep Klasia dari Pemuda Adat Moi Maya menyatakan pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk mengurangi emisi secara langsung, bukan sebagai penggantinya malah merampas hak Masyarakat Adat dengan memberi izin kepada perusahaan perdagangan karbon seperti PT Perkasa Bumi Hijau Unit I. Yosep menambahkan pihaknya akan melakukan konsolidasi ke semua pihak Masyarakat Adat pemilik hak ulayat untuk menolak kehadiran PT Perkasa Bumi Hijau Unit I yang berusaha menguasai wilayah adat kami. “ Konsolidasi ini untuk mematangkan perlawanan kami menolak praktek perdagangan karbon di wilayah adat kami,” katanya.

Yosep, menambahkan pihak perusahaan seharusnya tidak  melakukan sosialisasi dan tanda tanggan berita acara persetujuan dan permohonan rekomendasi teknis dari Gubernur dan Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, sebelum mendapat  izin dari masyarakat adat pemilik hak ulayat, saat ini kami masyarakat adat ingin memanfaatkan hutan alam kami di pulau salawati.

” kami masyarakat adat  sebagai pemilik hak ulayat  tidak membutuhkan  PT Perkasa Bumi Hijau Unit I mengelola hutan adat kami sebagai lahan bisnis karbon, saya mendesak pemerintah daerah provinsi papua barat daya  dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar tidak menerbitkan Perizinan Berusaha Pemanfataan Hutan ( PBPH)  multi usah perdagangan karbon di wilayah adat kami pulau salawati tenggah, kabupaten sorong dan kabupaten sorong.” kata, Yosep Klasia.

Frans mengatakan secara pribadi, dirinya atasnama marga Klasin Parajal bersama marga Moifilit dan marga Malayamuk yang mempunyai hak ulayat di pulau Salawati menolak kehadiran PT Perkasa Bumi Hijau Unit I, dalam melakukan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon) dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Wilayah Adat kami.

“Hutan bagi kami adalah sumber kehidupan secara turun-temurun yang diwariskan kepada generasi mendatang. Kami tidak mengizinkan pihak pemerintah Provinsi Papua Barat dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia untuk menerbitkan izin kepada PT Perkasa Bumi Hijau unit I berkegiatan dan memanfaatkan hutan adat kami sebagai sampel bisnis perdagangan karbon,” tandasnya.

Tolak Perdagangan Karbon

Masyarakat adat bisa melindungi hutan dan memulihkan ekosistem alam, menjaga keanekaragaman hayati dan iklim. masyarakat adat tidak pernah meminta pemerintah untuk menghadirkan investor yang berambisi menguasai wilayah adat mereka, termasuk hutan.

Pemerintah harus patuh terdap Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK) No. 35/2012 yang menyatakan bahwa ” hutan bdat berada di wilayah adat bukan di kawasan hutan negara.” hutan dan tanah di papua milik masyarakat adat dan di warisakan secara turun-temurun, dan dikuasai oleh masyarakat adat sebelum negara indonesia ada di tanah papua, termaksud pulau salawati.

Frans Klasin mengatakan mereka menolak perdagangan karbon sebagai jalan yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim.  Menurutnya, perdagangan karbon hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sudah seharusnya kita fokus pada pengurangan emisi untuk memastikan suhu global berada di bawah 1,5 derajat celcius, sehingga tidak ada cara lain untuk mengatasi krisis iklim selain pengurangan emisi bahan bakar fosil.  bukan justru menggantinya dengan solusi palsu sekedar menanam pohon dan menjual karbon, pada akhirnya kami masyarakat adat akan kehilangan wilayah adat kami yang diduduki konsesi perusahaan ,” ujarnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sorong, Papua Barat Daya

 

2 comments