Anak Muda Adat Papua Kecewa dengan Putusan MA Tolak Kasasi Hendrikus Woro

Sejumlah pemuda adat Papua di Sorong melakukan aksi foto Opportunity, mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap putusan mahkamah Agung tolak kasasi Hendrikus Woro
Greenpeace activists hold a banner in Pawbili Monument in Sorong, South West Papua to commemorate Anti Oligarchy’s day on 5 October 2023. They urge the Province government give more protection for Papuan indigenous forest from destruction by palm oil and mining concessions.

Sorong, 8 November 2024 — Sejumlah pemuda adat suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi perwakilan masyarakat adat suku Awyu, Hendrikus Woro, saat berupaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat. Apalagi saat ini suku Moi juga sedang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.
“Kami masyarakat adat suku Moi sangat kecewa terhadap Majelis Hakim MA karena tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang saat ini terancam dirampas oleh perusahaan sawit. Seharusnya hakim perlu jeli melihat persoalan ini dengan baik. Keberadaan masyarakat adat telah diakui sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18B UUD 1945  yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,” kata Koordinator Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan, dan Manusia Papua (KSTHMP), Fiktor Klafiyu.    Menurut Fiktor, putusan MA tidak mempertimbangkan fakta tentang relasi masyarakat adat dengan hutan adatnya yang kuat. Selama ini, secara turun temurun, hutan telah menjadi sumber penghidupan masyarakat adat dalam mengelola pangan lokal dan obat-obatan. Hutan adalah tempat berburu dan meramu bagi masyarakat adat.

“Bagi kami masyarakat adat Papua, hutan adalah mama dan tanah Papua itu bukan tanah kosong. Kami masyarakat adat Papua telah lama hidup berdampingan dengan alam, bahkan sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara merdeka. Putusan ini terkesan tak ada  keadilan bagi masyarakat adat di Indonesia. Keadilan lebih cenderung pro terhadap investasi. Kami sebagai masyarakat adat diabaikan dan hukum tidak memihak terhadap masyarakat adat suku Awyu yang diwakili oleh Hendrikus Woro,” tambah Fiktor.

Putusan dengan Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim pada 18 September lalu, namun dokumen putusan lengkapnya baru bisa diakses kemarin, 1 November. Dalam putusan tersebut, satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion). Salah satu poin penting dissenting opinion tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari, yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal. Hakim Yodi juga berpendapat bahwa objek gugatan—surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL—bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.

Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim Mahkamah Agung RI. Selain masyarakat adat suku Awyu, masyarakat adat suku Moi juga sedang menuntut keadilan dalam upaya mempertahankan wilayah adat suku Moi Sigin di MA. Berlokasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, wilayah adat tersebut terancam oleh izin usaha perusahaan sawit PT Sorong Agro Sawitindo dengan konsesi seluas 18.160 hektare.

“Izin tersebut diterbitkan tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Saat ini sedang dalam proses kasasi juga di MA. Kami berharap MA agar memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi kami masyarakat adat di meja hijau. Hakim harus memihak kepada kami masyarakat adat dan melihat fakta-fakta di lapangan karena kami masyarakat adat mempunyai sepenuhnya hidup berdampingan dan memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan abadi,” lanjut Fiktor.

Soraya Do, Koordinator Volunteer Greenpeace Indonesia yang berbasis di Sorong, mengatakan dua dekade terakhir hutan hujan di Tanah Papua semakin terancam akibat konversi lahan untuk kebun sawit, tambang, penebangan liar, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN). Kata Soraya, semua nyaris dilakukan dengan praktik perampasan wilayah adat milik masyarakat adat Papua.

“Dalam kasus masyarakat adat suku Moi MA harus jeli melihat dalam konteks Papua, di mana masyarakat adat sebagai subjek hukum atau lex specialis di era otonomi khusus dengan semangat melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Hal ini tertulis jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, bertujuan untuk melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP),” kata Soraya.

“Pengadilan seharusnya mempunyai sikap menegakkan hukum yang ketat dan berkeadilan untuk menyelamatkan hutan Papua, yang saat ini sedang tergerus oleh lajunya ekspansi industri ekstraktif di sektor bisnis sumber daya alam yang tak mengenal hak asasi manusia. Kita bisa hidup tanpa uang atau investasi, namun kita tidak bisa hidup tanpa hutan dan tanah adat,” tutupnya.[]

Masyarakat Adat Moi Desak Pemerintah Cabut Izin Perusahaan di Wilayah Adat Papua Barat Daya

Oleh : Samuel Moifilit

Belasan pemuda adat bersama Masyarakat Adat Suku Moi yang tergabung dalam Gerakan Malamoi menggelar aksi unjuk rasa ke kantor Kehutanan Provinsi Papua Barat Daya, Senin (13/11/2023), mendesak pemerintah  melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) perusahaan yang beroperasi di wilayah adat.

More…

PD AMAN Sorong Raya: Petakan Wilayah Adatmu Sebelum Dipetakan Oleh Pihak Lain.

Oleh Samuel Moifilit
Pulau Salawati, 22 Desember 2023, lebih dari belasan orang perwakilan komunitas adat ( marga) Malayamuk, Moifilit dan Kalapain bersama Pengurus Daerah AMAN Sorong Raya ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) melakukan kegiatan musyawarah perencanaan pemetaan partisipatif wilayah adat,  marga di pulau Salawati, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.Kegiatan tersebut berlangsung selama dua hari mulai dari 22 sampai 23 Desember 2033.
Dalam kegiatan tersebut PD AMAN Sorong Raya bersama tiga marga membahas rencana  pemetaan partisipatif wilayah adat beserta akan menyiapkan dokumen data sosial dan sejarah kepemilikan lahan oleh masing-masing marga, dan akan mendorong musyawarah bersama marga lain yang bersebelahan dengan mereka.

More…

Tolak Perusahaan Perdagangan Karbon di Papua Barat Daya

Masyarakat Adat Moi di Kepulauan Salawati yang terletak di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya menolak kehadiran perusahaan perdagangan karbon PT Perkasa Bumi Hijau Unit I

Penolakan ini disampaikan sejumlah tokoh Masyarakat Adat Moi usai kegiatan sosialisasi pembahasan permohonan rekomendasi teknis PT Perkasa Bumi Hijau Unit I atas areal seluas ± 69.768 hektare yang berlokasi di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong, pada Kamis, 9 November 2023. More…

Perusahaan  PT Mancaraya Agro Mandiri  “ Ko Stop Tipu Kami.

Sorong malamoi , Masyarakat Adat Pemilik hak ulayat menolak perusahaan PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri. ratusan  Masyarakat Adat dari sub suku moi salkhma dan sub suku moi Abun Taa yang berada di Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Senok dan Distrik Temel,provinsi papua barat daya   PT Mancaraya Sorong Agro Mandiri, saat mereka menghadiri pertemuan sosialisasi  rencana kerja tahunan pemanfaatan hutan di Basecamp Klakenik km 70, yang dilaksanakan oleh  Perusahaan PT Mancaraya Agro Mandiri  pada Jam 04:00-sampai jam 08: 00 WIT ( Malam),08/10/2023.

Menurut Benatus Malamuk, pemuda adat sayosa timur, kami Masyarakat adat sub Suku Moi Salkhma dan sub Suku moi abun Taat. sudah bersepakat dan menyatakan sikap seratus persen menolak perusahaan mancaraya agro mandiri dan juga investasi lain dalam bentuk apapun di wilayah adat kami, penolakan tersebut sudah kami sampaikan kepada pihak pihak perusahaan dan juga kepada Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu.

More…

Kekeliruan Putusan Majelis Hakim PTUN Jayapura Dalam perlindungan Masyarakat Adat Papua

Sorong Malamoi, Pejuang Lingkungan Hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura merasa kecewa dan sedih atas putusan majelis hakim yang tidak adil. Namun begitu Hendrikus dan masyarakat adat Papua yang mendukung perjuangan Hendrikus Woro bertekad tidak akan mundur memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup.        ” Saya secara pribadi merasa majelis hakim salah mengambil putusan, Salinan_putusan_6_G_LH_2023_PTUN_JPR.” Gugatan Lingkungan Suku Awyu, 021123.“, kata Robert Meanggi, pemuda adat Awyu. 

Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli.  Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL. Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan. 

More…